Didalam hidup
kita akan bertemu berbagai jenis karakteristik orang, ada yang pemarah, ada
yang pendiam bahkan tertutup, ada yang angkuh, misterius,cerewet, ada juga yang
gampang “dibodohin” bahkan banyak juga loh yang “maha tahu” segalanya. Kisah
ini bercerita tentang tiga sahabatku, dengan segala latar belakang dan
kepribadian mereka yang berbeda jauh satu dengan yang lain. Dan aku, harus bisa
menerima ketiganya didalam
kehidupanku.
Sara
Aku mengenalnya
sejak dibangku kuliah, kita bersahabat sudah 8 tahun. Dia adalah teman
sekelasku ketika mengenyam pendidikan di UGM dulu. Kenapa aku bisa bersahabat
lama dengan Sara, karena dia anak yang sangat bisa diajak diskusi apapun, mulai
dari jaman kita dulu suka ngebahas urusan kuliah, gebetan yang jadi inceran kita
berdua, sampai politik dan perkembangan perekonomian Negara ini pun sering
banget jadi bahan obrolan kita kalau bertemu (Bok.. secara kita kan anak
akuntansi, hehe!) bertemu dan sekedar menikmati kopi atau teh di kafe, udah
jadi acara rutin kita berdua lah pokoknya, Sara asli orang yogyakarta, jadi
memang pembawaanya kalem dengan Javanese-beauty-nya, rambut lurus pendek
sebahu, Sara cukup menarik, kulitnya coklat, tinggi semampai dan bertubuh
langsing (kurus malahan menurutku). Dia bekerja di salah satu perusahaan media
televisi terbesar di Indonesia, sejak 4 tahun lalu dan menetap di Jakarta sejak
saat itu. Aku tidak hanya mengenal Sara, keluarganya pun sangat akrab dengan
aku. Satu hal yang selalu membuatku merasa heran dengan sahabatku ini, dia
gampang sekali percaya dan berbaik hati buat orang, I mean, kita boleh aja baik ke orang (harus kok malahan) tapi
inget juga dong jangan sampai pengasihan
lupa diri dan pada akhirnya orang-orang dengan gampangnya ngeinjek-injek kita.
Dirga
Nama lengkapnya,
Dirgantara Bramantyo. Menurutnya, nama itu berhubungan dengan pekerjaan ayahnya
sebagai perwira TNI angkatan udara. Aku mengenal Dirga sejak kecil, (yep, sejak
kecil) orang tua kami bersahabat bahkan mungkin sejak aku dan Dirga belum
lahir. Kami tidak seumuran, Dirga empat tahun lebih tua dari aku, umurnya kini 30
tahun. Single, available dan tajir mampus. Aku bertemu Dirga kembali saat aku
mulai masuk kuliah, aku agak lupa dengan sosok laki-laki ini, maklum lama tidak
bertemu, yang aku tahu dia kuliah di Seattle, sejak saaat itu aku tidak pernah
lagi bertemu dengan dia. Suatu ketika, di Hari raya idul fitri tepatnya di
tahun pertamaku menjadi mahasiswa, aku bertemu Dirga di rumahku. Ayah dan ibunya
Dirga serta kakak perempuannya Mbak Ayu bersilahturahmi ke rumahku saat itu. It was really surprising me, after a very
long time, we are lost in contact, I
met my childhoodmate again. Aku tidak banyak tahu tentang Dirga beberapa
tahun ini, yang aku tahu dia kuliah di seattle dan telah kembali ke Jakarta,
dibalik sikap tertutup dan misterius Dirga, aku mengetahui sisi lain dari pria
berdarah Batak-Jerman ini.
Veve
Aku kenal Veve
sejak kita berdua magang di Citibank dulu, yang paling aku ingat dari cewek
satu ini adalah ke-judes-an nya sama orang, kalau ngomong langsung nyablak, dan kalau kalian baru kenal Veve, kalian pasti
bakal super BT sama dia. first impressionku
pas kenal dia ancur banget, satu lagi anaknya kasar. Becandaannya ataupun
omongannya. One thing that I like about
her itu cuma satu she speaks straight
to the point, itu menunjukan dia bukan kind
of basa-basi-people. Veve, berdarah Palembang, kulit putih, rambut curly
dengan cat berwarna dark brown, she is
stylish. Aku tidak pernah betah ngobrol dengan dia, palingan hanya sekedar hi and bye saja. Namun ada satu moment
dimana, aku akhirnya mengerti kenapa Veve, bersikap seolah tidak pernah peduli
dengan orang disekitarnya, kenapa dia selalu ketus ketika beerbicara bahkan
tergolong kasar untuk ukuran perempuan kalau bercanda.
0 komentar:
Posting Komentar